Entri Populer

Kamis, 24 Oktober 2013

Nothing To Lose

 
   

Jika semua yang kita kehendaki terus kita MILIKI, darimana kita belajar IKHLAS
Jika semua yang kita impikan segera TERWUJUD, darimana kita belajar SABAR
Seorang yang dekat dengan TUHAN, bukan berarti tidak ada AIR MATA
Seorang yang TAAT pada TUHAN, bukan berarti tidak ada KEKURANGAN
Seorang yang TEKUN berdoa, bukan berarti tidak ada masa-masa SULIT
Biarlah TUHAN yang berdaulat sepenuhnya atas hidup kita, karena TUHAN TAHU yang tepat untuk memberikan yang TERBAIK
Ketika kerjamu tidak dihargai, maka saat itu kamu sedang belajar tentang KETULUSAN
Ketika usahamu dinilai tidak penting, maka saat itu kamu sedang belajar tentang KEIKHLASAN
Ketika hatimu terluka sangat dalam…., maka saat itu kamu sedang belajar tentang KESUNGGUHAN
Ketika kamu harus membayar biaya yang sebenarnya tidak perlu kau tanggung, maka saat itu kamu sedang belajar tentang KEMURAHATIAN
Tetap Semangat…
Tetap Sabar...
Tetap Tersenyum…
Karena kamu sedang menimba ilmu di UNIVERSITAS KEHIDUPAN
TUHAN menaruhmu di “tempatmu” yang sekarang bukan karena “KEBETULAN”….
Orang yang HEBAT tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan.

MEREKA di bentuk melalui  KESUKARAN, TANTANGAN & AIR MATA…….   
                                                                   Sumber : DI

Selasa, 05 April 2011

ANTROPOLOGI EKOLOGI

TUGAS FINAL TEST
ANTROPOLOGI EKOLOGI
YUNTI LIMBONG
E 511 08 254
ANTROPOLOGI
A. Determinisme Lingkungan
Pengertian:
Ada beberapa sumber yang mendefenisikan tentang determinisme lingkungan, diantaranya :
Determinisme Lingkungan :
 Lingkungan fisik memainkan peranan sebagai penggerak utama (prime mover) dalam berbagai peristiwa manusia.
 Kepribadian, moralitas, politik dan pemerintahan, agama, kebudayaan material, biologi semuanya telah menjadi subyek untuk penjelasan oleh determinisme lingkungan (environmental determinism).
 Teori ini sangat berpengaruh hingga awal abad ke 20. (Kuliah Antropologi Ekologi).
Determinisme lingkungan, juga dikenal sebagai determinisme iklim atau determinisme geografi, adalah pandangan bahwa lingkungan fisik, bukannya kondisi sosial, yang menentukan kebudayaan. Penganut pandangan ini mengatakan bahwa manusia ditentukan oleh hubungan stimulus dan respon (hubungan lingkungan-perilaku) dan tidak bisa menyimpang dari hal itu. Argumen dasar dari penganut determinisme lingkungan adalah bahwa aspek dari geografi fisik, khususnya iklim, mempengaruhi pemikiran individu, yang pada gilirannya akan menentukan perilaku dan budaya yang dibangun oleh individu tersebut. Sebagai contoh, iklim tropis dikatakan menyebabkan kemalasan dan sikap santai, sementara seringnya perubahan cuaca di daerah sub-tropis cenderung membuat etos kerja yang lebih bersemangat. Karena pengaruh lingkungan ini secara lambat laun mempengaruhi kondisi biologis manusia, maka perlu untuk merunut migrasi dari kelompok untuk melihat kondisi lingkungan tempat mereka berevolusi. Pendukung utama pendapat ini diantaranya Ellen Churchill Semple, Ellsworth Huntington, Thomas Griffith Taylor dan mungkin pula Jared Diamond, walau statusnya sebagai pendukung determinisme lingkungan masih diperdebatkan. (Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).
Determinisme adalah teori metafisika yang menyatakan bahwa semua peristiwa ditentukan oleh sebab-sebab mekanistik. Determinisme menentang libertarianisme metafisik yang memegang bahwa setidaknya beberapa perilaku manusia dijelaskan dalam hal kebebasan dan tanggung jawab agen. (© Copyright 1994-2009 Robert T. Carroll)
Determinisme adalah doktrin filosofis bahwa segala sesuatu yang terjadi tidak demikian karena langsung terjadi disebabkan oleh sesuatu yang lain. Dengan demikian, segala sesuatu yang terjadi harus terjadi dan tidak dapat dicegah atau disebabkan secara acak. Biasanya, telah percaya bahwa alam semesta deterministik telah ditemukan dan dibuktikan oleh ilmu pengetahuan, yang umumnya bergantung pada determinisme saat merumuskan teori dan prediksi. Determinisme juga umumnya menentang kehendak bebas. Determinisme berkaitan dengan fatalisme, kecuali fatalisme yang menegaskan bahwa kehendak bebas manusia tidak akan mencapai apa-apa. Determinisme kadang dipisahkan menjadi keras "dan" lunak "determinisme". Menurut determinisme keras, perspektif deterministik adalah benar dan tidak kompatibel dengan kebebasan manusia, moral atau sebaliknya. Jadi, manusia tidak dapat diselenggarakan secara moral bertanggung jawab atas tindakan mereka. Menurut determinisme lunak, perspektif deterministik mungkin benar tetapi ada tetap kondisi kebebasan moral seperti yang manusia dapat, setidaknya pada waktu, bertanggung jawab moral atas tindakan mereka. (About. Com)
Determinisme adalah teori bahwa semua tindakan manusia seluruhnya disebabkan oleh kejadian sebelumnya, dan bukan oleh pelaksanaan Will,. Dalam filsafat teori didasarkan pada prinsip metafisik bahwa acara bersebab adalah mustahil. Keberhasilan ilmuwan dalam menemukan penyebab perilaku tertentu dan dalam beberapa kasus mempengaruhi kontrol cenderung untuk mendukung prinsip ini. Ada ketidaksepakatan tentang perumusan yang tepat determinisme - sebuah isu sentral dalam filsafat yang tidak pernah berhenti menjadi kontroversial, fisik. Determinisme, yang bentuknya berasal di atomisme dari Democritus dan Lucretius, adalah teori interaksi manusia yang dapat direduksi menjadi hubungan antara biologis kimia, atau fisik entitas; formulasi ini adalah fundamental untuk Sosiobiologi modern dan neuropsikologi. Determinisme historis Karl Marx, di sisi lain, transpersonal dan terutama ekonomi. Berbeda dengan kedua formulasi, determinisme psikologis - dasar filosofis psikoanalisis - adalah teori bahwa tujuan, kebutuhan, dan keinginan individu adalah pusat untuk penjelasan perilaku manusia. Determinisme perilaku baru-baru BF Skinner merupakan modifikasi dari pandangan ini, dalam Skinner mengurangi semua negara psikologis internal untuk diamati perilaku publik - Nya. Stimulus respon akun juga menggunakan analisis statistik dan probabilistik modern sebab-akibat. Jean Paul Sartre dan filsuf kontemporer lainnya berpendapat determinisme mengungkapkan tindakan sebagai hasil dari pilihan kita sendiri dan tidak diharuskan oleh peristiwa sebelumnya atau faktor eksternal. Determinis menjawab bahwa pengalaman semacam kebebasan adalah ilusi dan introspeksi yang merupakan metode yang dapat diandalkan dan tidak ilmiah untuk memahami perilaku manusia. Pandangan ini telah dimodifikasi dalam komunitas ilmiah, namun, dengan ucapan Prinsip Ketidakpastian oleh fisikawan Werner Heisenberg. Akibat karyanya di mekanika kuantum menyebabkan Heisenberg untuk menegaskan bahwa ilmuwan, sebanyak peserta sebagai pengamat, mengganggu dan sangat sifat netralitas dari objek yang bersangkutan. Karyanya juga mempertanyakan apakah mungkin untuk menentukan kerangka objektif, yang dapat membedakan penyebab dari efek, dan apakah seseorang dapat mengetahui pengaruh objektif jika seseorang selalu merupakan bagian dari penyebabnya. Determinisme kadang-kadang bingung dengan Predestinasi dan fatalisme, tetapi oleh karena itu tidak menegaskan bahwa urusan manusia telah diatur sebelumnya oleh berada di luar urutan kausal atau bahwa seseorang memiliki nasib tidak bisa dihindari. (Jesse G Kalin Jesse G Kalin)
Determinisme lingkungan adalah teori yang menyatakan bahwa karakteristik manusia dan budayanya disebabkan oleh lingkungan alamnya. Penganut fanatik deteriminisme lingkungan adalah Carl Ritter, Ellen Churchill Semple dan Ellsworth Huntington (iwit88vir’Blog)
Determinis adalah teori yang mengungkapakan bahwa alam (fisik) bumi yang menentukan kehidupan manusia.. Dikemukakan oleh Fredrich Ratzel.


Contoh singkat:
 Apabila terjadi gunung meletus manusia yang tinggal harus pergi mengungsi di tempat lain. Tapi di sisi lain tanah tersebut akan jadi subur dan dapat digunakan oleh manusia.
 Di sekitar laut mata pencaharian penduduk adalah nelayan sedangkan di desa adalah petani. Jadi mata pencaharian manusia ditentukan oleh kondisi alam (wakawaka, E_BLOG.com)
Contohnya:
Determinisme Teknologi
“Membuka Kotak Hitam Teknologi”
IBIECA adalah nama sebuah desa kecil di sebelah timur laut Spanyol. Beberapa bangunan tua peninggalan kerajaan Spanyol abad ke-13 tampak masih kokoh berdiri. Sekitar seratus keluarga mendiami Ibieca. Tidak semata-mata jumlah kecil ini yang menciptakan keakraban di antara para penduduk. Di salah satu sudut desa terdapat sebuah tempat istimewa. Sebuah pancuran dengan aliran air yang jernih dan dingin. Di sinilah para Ibiecan setiap hari bertemu dan bercengkerama satu sama lain. Mereka bersenda gurau di sela-sela aktivitas menimba air yang biasanya dikerjakan kaum lelaki pada saat kaum perempuan sibuk menggosok cucian yang menumpuk. Suasana air pancuran semakin ramai dengan teriakan riang gembira anak-anak kecil yang bermain air sambil bertelanjang dada. Bagi Ibiecan, air pancuran adalah pusat segala aktivitas sosial mereka. Dari gagasan-gagasan serius hingga gosip si ini jatuh hati dengan si itu, semuanya mengalir sama derasnya dengan air pancuran tersebut.
Suatu hari penduduk Ibieca menerima kabar bahwa tidak lama lagi di desa Ibieca akan terpasang pipa-pipa besi yang mengantarkan air langsung ke rumah-rumah. Penduduk Ibieca pun dengan serta-merta menyambut riang gembira. Dengan kedatangan teknologi tersebut, kaum lelaki merasa senang karena mereka tidak perlu lagi mengeluarkan tenaga untuk menimba dan membawa air ke rumah. Kaum perempuan pun tidak kalah antusiasnya. Mereka segera berbondong-bondong membeli mesin cuci untuk dipakai di rumah masing-masing.
Tanpa disadari teknologi mengubah kehidupan sosial desa Ibieca. Dengan dipasangnya pipa air ke rumah-rumah, penduduk Ibieca tidak lagi melakukan kegiatan rutinitas mereka di air pancuran. Interaksi sosial yang selama ini mereka lakukan menghilang. Kaum lelaki tidak lagi akrab dengan keledai peliharaan mereka yang biasa membantu membawa air. Para perempuan tidak lagi berbagi cerita tentang keadaan desa yang biasa mereka lakukan di air pancuran. Suara anak kecil riang gembira menghilang dari warna desa karena mereka sibuk bermain di rumah masing-masing. Teknologi telah mengubah ikatan sosial kultural yang kuat di antara Ibiecan, sebuah ikatan yang membentuk kaum Ibiecan sebagai sebuah komunitas.
Kisah Desa Ibieca seperti yang dikutip Richard Sclove di atas adalah sebuah parabel modernitas yang menunjukkan bagaimana sebuah tatanan sistem sosial mengalami perubahan dengan adanya intervensi teknologi. Ibieca tidaklah sendiri. Sejarah sosial kultural manusia penuh dengan perubahan yang dipicu oleh utilisasi teknologi di masyarakat.
Relasi antara manusia dan teknologi tidaklah sesederhana mengatakan bahwa teknologi adalah media untuk mengubah manusia. Manusia tidak pernah bersikap pasif terhadap teknologi. Respons imajinatif senantiasa mewarnai interaksi timbal balik antara manusia dan teknologi, sebuah interaksi yang selalu melibatkan dimensi sosial, politik, dan kultural. Pada titik inilah relasi antara manusia dan teknologi menjadi diskursus menarik sekaligus penting. Menarik karena kompleksitasnya. Penting karena teknologi selalu menjadi bagian dari setiap episode sejarah manusia. (Sulfikar Amir Mahasiswa Program Doktor Dept Science and Technology Studies Rensselaer Polytechnic Institute di Troy, New York, Amerika Serikat ( amirs3@rpi.edu ))

B. Posibilisme Lingkungan
Pengertian :
Terdapat beberapa sumber yang mendefenisikan tentang Posibilisme Lingkungan
Memandang manusia sebagai makhluk yang aktif, yang dapat membudidayakan alam untuk menunjang hidupnya (iwit88vir’Blog).
Posibilis adalah teori yang mengungkapkan bahwa manusialah yang menentukan kehidupannya. Teori ini dikemukakan oleh Vidal de la Blache.
Contoh singkat:
 Apabila manusia menebang pohon sembarangan maka manusia akan menanggung akibatnya seperti banjir dan kurangnya produktivitas oksigen
 Apabila manusia membangun bangunan secara sembarangan tanpa perhitungan maka manusia akan sulit mencari suatu tempat termasuk rumahnya sendiri. (wakawaka, E_BLOG.com)
Contohnya:
“ Manusia yang mempengaruhi alam ”
 Manusia Mempengaruhi Alam dari Segi Positif
Sekarang ini hutan di Indonesia sudah semakin berkurang khususnya di pulau Kalimantan. Hal itu dapat menyebabkan banjir,tanah longsor dan dampak-dampak buruk lainnya. Untuk mencegah hal tersebut pemerintah sudah menggalakkan program reboisasi di lahan-lahan gundul. Seperti yang kita tahu Reboisasi adalah penanaman kembali hutan-hutan yang gundul. Selain itu juga ada cara lain untuk membuat hutan menjadi tetap asri yaitu sistem tebang pilih, yaitu penebangan pohon tapi hanya pohon sudah tua saja.
Pemerintah Indonesia juga telah mengadakan lomba-lomba pelestarian lingkungan, yang terkenal diantaranya adalah Adipura.
Hal itu membuat Kota-Kota di Indonesia saling berlomba untuk melestarikan lingkungannya. Seperti yang kita lihat di kota kita tercinta Kota Balikpapan.
Pemerintah kota Balikpapan, sangat antusias akan kebersihan dan keindahan lingkungannya demi mempertahankan pengharagaan Adipura yang sudah beberapa kali didapatkan. Berbagai penyuluhan serta pengikut sertaan warga dalam segala kegiatan untuk meningkatkan program Adipura sudah dilakukan .Mulai dari penanaman 1000 pohon, GCB (Green & Clean Beach), GCHC (Green,Clean & Healty City) ,pembuangan sampah pada tempatnya, penanggulangan sampah seperti program 3R (reduce,reuse,recycle) , dan berbagai macam cara lainnya untuk membuat lingkungan kita menjadi lebih bersih, asri, dan juga indah.
Dari Contoh di atas, manusia juga memberi pengaruh yang positif bagi Alam.

 Manusia Mempengaruhi Alam dari Segi Negatif
Seperti yang kita semua tahu bahwa manusia lebih banyak memberikan pengaruh negatif terhadap alam. Salah satunya adalah masalah yang menimpa hutan di Indonesia yaitu Illegal logging atau penebangan secara illegal. Penebangan ini tidak mengikuti aturan yang berlaku, pelakunya terus menebangi pohon-pohon tanpa adanya sistem tebang pilih, dan juga penghijauan kembali, sehingga membuat hutan menjadi gundul dan gersang, dan akhirnya menyebabkan banjir dan tanah lonsor yang merugikan manusia itu sendiri.
Selain itu masih banyak nelayan-nelayan “nakal” yang menangkap ikan dengan cara-cara yang dapat merusak alam. Contohnya adalah menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak. Hal itu membuat flora dan fauna yang terkena ledakan menjadi mati. Terumbu karang menjadi rusak dan tidak indah lagi. Dan masih banyak lagi pengaruh-pengaruh negatif yang telah manusia lakukan kepada alam. Dari contoh di atas kita bisa melihat bahwa manusia lebih banyak memberi pengaruh negatif bagi alam. (Blog 4 My Assignment,E_BLOG.coo)



BAB III
PENUTUP


Di barat, selama abad ke-20, disiplin ilmu geografi melewati empat fase utama: determinisme lingkungan, geografi regional, revolusi kuantitatif dan geografi kritis.
Determinisme lingkungan adalah teori yang menyatakan bahwa karakteristik manusia dan budayanya disebabkan oleh lingkungan alamnya. Penganut fanatik deteriminisme lingkungan adalah Carl Ritter, Ellen Churchill Semple dan Ellsworth Huntington. Hipotesis terkenalnya adalah “iklim yang panas menyebabkan masyarakat di daerah tropis menjadi malas” dan “banyaknya perubahan pada tekanan udara pada daerah lintang sedang membuat orangnya lebih cerdas”. Ahli geografi determinisme lingkungan mencoba membuat studi itu menjadi teori yang berpengaruh. Sekitar tahun 1930-an pemikiran ini banyak ditentang karena tidak mempunyai landasan dan terlalu mudahnya membuat generalisasi (bahkan lebih sering memaksa).
Dari dahulu geografi selalu berpusat pada manusia. Perkembangan ilmu geografi pada abad ke-20 pendekatannya lebih pada corak sosial dan budaya. Sebutan antropogeografi pada abad ke-19 adalah sebagai penguat bahwa geografi bukan hanya pada lingkungan alamnya saja. Kini pandangan tersebut berubah dengan bahasan topik pada geografi misalnya iklim atau relief akan berhubungan dengan kehidupan manusia sehingga tepat jika bumi dikatakan sebagai tempat tinggal manusia. Ahli geografi Perancis Vidal De La Blache mengoreksi determinisme lingkungan dari Ratzel yang sedang berkembang. Menurutnya, bumi tidak menentukan perilaku manusia, bumi hanya menyediakan berbagai kemungkinannya, perilaku manusia ditentukan dari pilhan manusia itu sendiri. Ia menunjukkan dengan jelas bahwa manusia memiliki keterbatasan. Pilihan manusia dalam memanfaatkan lingkungan masih tergantung dari sistem nilai masyarakatnya maupun budayanya. Dengan kata lain pemanfaatan terhadap ketersediaan alam berlainan antar tempat satu dengan lainnya. Di Rusia Melezin mendefinisikan geografi kependudukan sebagai suatu telaah atas sebaran penduduk dan relasi produktif yang terdapat di dalam berbagai kelompok penduduk, jaringan pemukiman dan fungsinya, manfaatnya sertaketepatgunaannya bagi tujuan-tujuan yang produktif dari masyarakat.

MODAL SOSIAL

BAB II
PEMBAHASAN
Hubungan manusia sangat penting baginya, sebagi individu. Dari sudut pandang sosiologi, dapat dikatakan bahwa kita, paling tidak sebagian, didefenisikan oleh siapa yang kita kenal. Namun, begitu luas ikatan antarmanusia juga menjadi blok bangunan utama bagi bangunan social yang lebih besar.
Gagasan sentral modal social adalah bahwa jaringan social merupakan asset yang sangat bernilai. Jaringan memberikan dasar bagi kohesi social karena mendorong orang bekerja satu sama lai – dan tidak sekedar dengan orang yang mereka kenal secara langsung, untuk memperoleh manfaat timbal balik. Dalam pemikiran ekonomi istilah “modal” pada awalnya berarti sejumlah uang yang diakumulasi, yang dapat diinvestasikan dengan harapan akan memperoleh hasil yang menguntungkan dimasa yang akan datang.
Theodore Schults (1961) dan selanjutnya oleh Becker (1964), konsep yang ada dibalik modal manusia adalah hal ini dapat digunakan sebagai alat yang dapat membantu ekonomi keterampilan pekerja.
1. Bourdieu
Dalam studi tentang suku-suku di Aljazair selama tahu 1960-an, Bourdieu menggambarkan perkembangan dinamis struktur nilai dan cara berpikir yang membentuk apa yang disebut dengan “habitus”, yang menjadi jembatan antara agensi subjektif dengan posisi objektif. Ketika mengembangkan gagasannya tentang habitus, Bourdieu menegaskan bahwa kelompok mampu menggunakan symbol-simbol budaya sebagai tanda pembede, yang menandai dan menbangun posisi mereka dalam struktur social. Ia memperkuat pandangannya dengan menggunakan metafora “modal budaya”yang menunjuk pada cara kelompok memanfaatkan fakta bahwa beberapa jenis selera budaya menikmati lebih banyak status daripada jenis selera budaya yang lain. Bourdieu menegaskan berulang kali bahwa modal social yang dimiliki orang bukan sekedar mencerminkan sumber daya finansila mereka.
Modal social menurut Bourdieu adalah jumlah sumber daya, actual atau maya, yang berkumpul pada seorang individu atau kelompok karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbale balik perkenalan dan pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan.
Ia pun menegaskan bahwa agar modal social tersebut dapat bertahan nilainya, individu harus mengupayakannya.
2. Coleman
James Coleman mampu menunjukkan bahwa modal social tidak terbatas pada mereka yang kuat, namun juga mencakup manfaat rill bagi orang miskin dan komunitas yang terpinggirkan. Modal social menurut Coleman, merepresentasikan sumber daya karena hai ini melibatkan harapan akan resiprositas, dan melampaui individu mana pun sehingga melibatkan jaringan yang lebih luas yang hubungannya diatur oleh tingginya tingkat kepercayaan dan nilai-nilai bersama.
Coleman kemudian mendefenisikan modal social sebagai seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga dan dalam organisasi social komunitas dan yang berguna bagi perkembangan kognitif atau social anak atau orang yang masih muda. Sumber-sumber daya tersebut berbeda bagi orang-orang yang berlainan dan dapat memberikan manfaat penting bagi anak-anak dan remaja dalam perkembangan modal social mereka.
3. Putnam
Bertolak belakang dengan Coleman dan Bourdieu, Putnam berlatar belakang ilmu politik. Setelah di bawah arahan Ron Inglehart meneliti hubungan antar nilai social dengan sikap politik, studi utama Putnam pertama mengulas peran keterlibatan warga dalam membangun stabilitas politik dan kemakmuran ekonomi, yang didasarkan atas penelitan lapangan di Italia.
Sumbangsih pertama Putnam pada debat tentang modal social hadir menjelang akhir studi pemerintahan daerah di Itlalia (Putnam 1993a). Mengambil gagasannya dari pengumpulan data empiric selama dua dasawarsa, Putnam berusaha mengindentifikasi dan selanjutnya menjelaskan perbedaan antara pemerintaha daerah di italia utara dan selatan.
Putnam menggunakan konsep modal social untuk lebih banyak menerangkan perbedaan-perbedaan dalam keterlibatannya yang dilakukan warga. Ia baru mendefenisikan istilah ini setelah menyajikan diskusi terperinci tentang bukti kinerja institusional relative dan level-level keterlibatan warga. Dalam hal ini modal social menunjuk pada bagian dari organisasi social, seperti kepercayaan, norma, dan jaringan, yang dapat meningkatkan efesiensi masyarakat dengan menfasilitasi tindakan-tindakan terkoordinasi.
Lebih tepatnya, modal social memberikan sumbangsih pada tindakan kolektif dengan meningkatkan biaya potensial bagi para penghianat politik, mendorong diperkuatnya norma-norma resiproritas, menfasilitasi aliran informasi, memasukkan informasi tentang reputasi para actor, memasukkan keberhasilan upaya kolaborasi di masa lalu, bertindak sebagai cetak biru bagi kerja sama di masa yang akan datang.
Mengeksplorasi Kekuatan Jaringan
Gagasan tentang modal social mempengaruhi para peneliti dan pemikir ilmu social. Para ilmuan mengambil gagasan Putnam, Coleman dan Bourdieu untuk memberikan kerangka teoritis bagi telaah tentang dampak jaringan yang dimiliki orang pada peluang hidup mereka. Tentu saja, konsep ini pun menarik perhatian para pembuat kebijakan dan orang lain yang tertarik kepadanya karena penerapan praktisnya. Gagasan bahwa modal social mengembalikan keuntungan nyata kepada pemiliknya sangat terbuka untuk diuji bedasarkan bukti-bukti yang ada.

Modal Social dan Pendidikan
Bourdieu dan Coleman mempengaruhi sosiologi pendidikan, dan dari dampak modal social pada pendidikan inilah tinjuan atas penelitian ini di awali. Secara konvensional, pada umumnya para sosiolog menduga bahwa anak-anak dan kelurganya secara social dan ekonomi mapan cendeung lebih unggul dibandingkan dengan mereka yang berlatar social dan ekonomi yang tidak menguntungkan. Mereka pun tidak salah melakukan hal ini. Sebagian besar, modal budaya dan ekonomi keluarga tercermin dalam modal manusia yaitu keterampilan, pengetahuan dan kualifikasi, anak-anak mereka. Penelitian Coleman menunjukkan perkecualian atas aturan umum ini.
Temuan-temuan penelitian juga menunjukan bahwa modal social dapat menjadi penyembang kemalangan social dan ekonomi. Sampai saat ini, sebagaimana telah dicatat, banyak peneltian melihat pada dampak modal social pada pendidikan anak-anak minoritas. Dalam konteks yang lebih luas, muncul penelitian yang mengkonfirmasikan dampak modal social bagi modal social manusia. Secara umum, penelitian ini menyimpulkan bahwa pengaruh modal social baik adanya, karena ia diasosiasikan dengan tingkat pretasi yang lebih tinggi, dalam hal ini tampaknya berlaku bagi anak-anak muda dari latar belakang yang kurang menguntungkan. Menurut kata-kata Lauglo, modal social dapat “menghilangkan” nasib malang kelas social dan lemahnya modal budaya.
Hubungan dengan Ekonomi
Ada banyak literatur terkenal tentang peran jaringan social dalam perilaku ekonomi. Telah lama diketahui bahwa kontak pribadi membekali pencari kerja dngan cara yang sangat efektif untuk menemukan posisi baru dan memperoleh promosi, sementara itu sejak tahun 1990-an berbagai jaringan perusahaan, penelitian dan pembuat kebijakan seringkali dipandang sebagai factor menentukan dalam mendorong inovasi dan meningkatkan keunggulan kompetitif.
Ekonomi bukan sesuatu yang asing bagi gagasan bahwa mungkin saja terdapat perbedaan tipe modal social. Yang terpenting bagi tujuan analisis ini adalah bahwa ekonom tertarik pada konsep modal manusia sejak awal tahun 1990-an. Pada awalnya konsep ini diperkenalkan sebagai cara untuk menunjukkan kontribusi tenaga kerja bagi kinerja perusahaan.
Jaringan telah lama dipandang penting bagi keberhasilan bisnis. Khususnya tahap awal, banyak diyakini bahwa jaringan berfungsi sebagai sumber informasi penting, yang bisa menjadi sesuatu yang kritis dan mengidentifikasi dan menggali peluang bisnis. Jaringan juga dipandang memberikan kontribusi bagi gaya manajemen yang konsisten dan sta bil, yang pada gilirannya dapat menjadi sesuatu yang vital untuk mendorong perusahaan tetap bertahan dari guncangan eksternal, khususnya sector yang pasang surut seperti konstruksi (Hendry, et al. 1991:17).
Pada tahun-tahun terakhir, muncul banyak minat pada peran jaringan dan kelompok dalam mendorong inovasi bisnis dan pertukaran pengetahuan (Porter, 2000; Le Bas, et al. 1998). Pengetahuan adalah satu komoditas rentan, karena penjual tidak banyak terlindungi dari perilaku tidak terkendali pembeli, selain dari tingginya harga pilihan tindakan hokum; dengan demikian pengetahuan cenderung dipertukarkan dengan cara yang jauh dari bebas ketimbang harga yang optimal bagi kinerja bisnis.
Pertukaran inovasi, maupun aktivitas antarperusahaan yang terbangun seperti perdagangan barang dan jasa, tampaknya didorong oleh eksistensi jaringan stabil antarorang yang percaya satu sama lain. Kerja sama, khususnya antarpesaing, difasilitasi oleh norma kepercayaanyang melekat pada jaringan antar dan intra-perusahaan.
Manfaat bagi Kesehatan dan Kebugaran
Bukti tentang kaitan yang lebih umum antara tingkat kesehatan dengan ikatan social telah ada sejak akhir tahun 1970-an, yang menunjukkan bahwa masyarakat dengan jaringan social yang kuat memiliki angka kematian setengah atau sepertiga dari masyarakat yang iaringan sosialnya lemah (Whitehead dan Diderichsen, 2001). Putnam (2000) dapat menggunakan sejumlah studi lanjut yang mencoba mengontrol ciri lain, seperti umur, pendapatan da bahkan pola perilaku seperti merokok, minum minuman keras dan olahraga
Melangkah di sisi Gelap
Putnam begitu jujur ketika mengatakan bahwa sekalipun jika ada resiko dari kerja sama negative, seperti resiproritas yang ditemukan di dalam gang criminal, menciptakan modal social secara umum “tetap baik bagi kita” (Putnam, 2000: 414). Modal social dapat mendorong individu dan kelompok untuk mencapai berbagai tujuan bersama, yang banyak di antaranya bisa jadi mengandung konsekuensi negative bagi orang lain, secara langsung (misalnya korban kejahatan terorganisasi), atau tidak langsung (seperti diilustrasikan oleh aturan norma informal dan jaringan yang menjadi landasan bagi diskriminasi institusional).
Jika modal social memunculkan hasil yang diharapkan, ia pun dapat menghasilkan keburukan social. Seperti yang dikemukakan Alejandro Portes “sosiabilitas memotong dua jalur” (Portes,1998: 18). Kapasitas modal social untuk menghasilkan akibat negative tidak terlalu mengejutkan. Jika hal ini mendorong kerja sama timbal balik bagi manfaat anggotanya, maka modal social pada prinsipnya cenderung mendorong kerja sama bagi tujuan-tujuan negative dan positif.
Fukuyama pun membicarakan potensi merusak modal social. Kendati studi awalnya tentang ekonomi kepercayaan berpandangan bahwa modal social tidak sekedar kebaikan public namun juga demi kebaikan public,kemudian ia mengakui kelemahan pendekatan ini. Ia mencatat bahwa orang-orang yang melakukan lobi untuk kepentingan-diri kelompok pembenci atau birokrasi yang ketat memperoleh keuntungan dari akses terhdap cadangan modal social sebagaimana orang lain. Kendati juga menawarkan contoh dari konsekuensi negative modal fisik (senapan) dan modal manusia (Siksaan), ia menyimpulkan bahwa modal social lebih cenderung menimbulkn eksternalitas negative dari pada dua bentuk modal lainnya, terutama “karena solidaritas kelompok dalam komunitas manusia seringkali di beli dengan kebencian terhadap anggota kelompok lain. Fukuyama percaya bahwa sisi buruk muncul dari sisi kepercayaan, yang merupakan elemen inti dalam defenisi modal social yang dikemukakannya.
Modal Social dan Ketimpangan
Modal social dapat mendorong ketimpangan terutama karena akses terhadap tipe jaringan yang berbeda terdistribusikan secara sangat tidak merata. Setiap orang dapat menggunakan koneksi mereka sebagai cara untuk mewujudkan kepentingannya, namun beberapa koneksi yang dibangun oleh beberapa orang lebih berharga daripada koneksi yang dibangun orang lain.
Modal social menurut Bourdieu, dengan sendirinya memberikan manfaat langsung kepada anggota jaringan, dan selain itu dapat membantu menggantikan kekurangan sumber yang lain. Akhirnya, kelompok yang kuat dapat mencoba membatasi atau menggerogoti modal sosia mereka yang kurang kuat, ini menjadi cirri dan strategi majikan dalam komunitas industry paternalis pada abad ke-19, misalnya (Schulman dan Anderson, 1999). Jadi, mungkin saja melihat modal social sebagai asset yang terdistribusiakna secara tidak merata, dan sebagai mekanisme yang dapat mendorong ketimpangan lebih jauh. Mereka yang secara relative tinggi modal financial dan modal budayanya juga cenderung tinggi dalam modal social.
Isolasi social tentu saja dapat membantu memberikan sumber daya bagi mereka yang relative kurang beruntung. Namun, seringkali mustahil memisahkan sebab dan akibat secara simplistic. Satu studi di Amerika Utara, yang didasarkan atas 3311 wawancara, melaporkan bahwa kemiskinan semata-mata tidak menyebabkan isolasi social; namun penelitian ini mencatat penurunan akses terhadap jaringan pendukung dikalangan responden yang lebih tua dan mereka yang kurang terdidik (Boisjoly, et al. 1995: 623). Kerugian jaringan pun cenderung mempengaruhi penyandang cacat, yang lebih sedikit mengenal orang lain yang bekerja, dan lebih cenderung bergantung pada tunjangan kesejahteraan daripada anggota masyarakat lainnya. Mereka pun mengalami diskrimnasi langsung sebagai akibta dari sikap orang lain terhadap kondisi cacat. Dalam kasus ini, tiadanya modal social mungkin saja pada akhirnya merupakan konsekuensi dari prasangka, yang menyebabkan pencampakkan di dunia kerja yang pada gilirannya menempatkan penyandang cacat dalam jebakan tunjangan kesejahteraan jika mereka terbukti tidak mampu bekerja (Heenan, 2002: 385-7). Namun kerugian jaringan yaitu tiadanya ikatan dengan orang yang telah bekerja dan mungkin membantu mendapatkan kesempatan untuk keluar dari jebakan tunjangan kesejahteraan, jelas merupakan sumber kerugian lain bagi penyandang cacat yang hasratnya untuk bekerja terabaikan. Pola ini mengandung sejumlah konsekuensi. Tingginya tingkat modal social yang homogeny merepresentasikan strategi untuk teta bertahan hidup secara komunal.
Satu kelompok bisa saja memandang bahwa kapasitasnya untuk menumbuhkan modal social terbatas atau terhambat dalam beberapa hal. Sebagai contoh, para manajer perempuan memiliki lebih sedikit kecenderungan dibandingkan dengan laki-laki dalam mendapatkan tugas pada level internasional, yang pada gilirannya mempengaruhi cakupan jaringan mereka (Caligiur, et al. 1999: 163-4).
Lebih jauh lagi, juga dinyatakan bahwa modal social memberikan kontribusi pada ketimpangan dengan melakukan efek pengenduran aspirasi orang (Portes, 1998; Harper, 2001: 12; Ledeneva, 1998: 82). Portes menyatakan bahwa ketika solidaritas kelompok dipersatukan oleh pengalaman bersama nasib malang dan penentangan terhadap masyarakat arus utama, maka secara individu anggota akan enggan mencoba meninggalkan dan bergabung dengan “musuhnya”. Selanjutnya norma kelompok menurunkan ambisi sehingga kelompok tertindas menjaga agar anggotanya tetap berada pada sikap tunduk, dan individu-individu yang menyimpang merasa terpaksa meninggalkan kelompok ini sepenuhnya.
Diskusi tentang modal social dan ketimpangan ini menegaskan bahwa jaringan dapat membantu melestarikan kedudukan istimewa dan mempertahankan nasib malang. Akan sangat simplistic ketika menyatakan bahwa modal social adalah satu-satunya factor yang ada, atau bahwa hal ini niscaya merupakan factor yang signifikan. Bahkan mustahil mengklaim bahwa yang paling baik menjalin hubungan selalu memanfaatkan sumber jaringan untuk meningkatkan posisi mereka. Kadang-kadang mereka tidak perlu melakukannya, karena sumber lain dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Paling tidak ada dua jenis ketimpangan dalam hal modal social.
1. Ditunjukkan bahwa mereka yang paling makmur dan paling terdidik pada umumnya adalah mereka yang memiliki koneksi terbanyak
2. Terdapat perbedaan kualitatif dalam jaringan yang dimiliki orang
Peluang untuk mendapatkan dukungan terkait erat dengan posisi individu atau kelompok dalam hierarki social yang lebih luas. Jadi, kendati koneksi antara ketimpangan dan keterhubungan bukanlah sesuatu yang sederhana, ada banyak bukti level keseluruhan dan sifat lebih spesifik dari modal sosia yang dimiliki orang yang dapat memainkan peran penting dalam menentukan apakah mereka dapat mengakses sumber daya tersebut atau tidak.
Efek Buruk Modal Social
Selain bekerja sama untuk mencapai tujuan yang secara umum menguntungkan anggota jaringan dan orang lain, orang dapat mengeksploitasi modal social mereka untuk mencapai tujuan yang secara social dan ekonomi buruk. Dimensi gender modal social yang buruk sangat menonjol. Kejahatan tergorganisasi terutama didominasi kaum laki-laki, khususnya pada level kepemimpinan. Memang banyak diketahui bahwa banyak prinsip pengatur gang remaja didasarkan atas kekuasaan dan sikap tunduk perempuan
Sisi Gelap Modal Social
Modal social sebagai sebuah konsep dituduh sangat normative. Citra yang melekat padanya dalam perdebatan terkini, bersifat positif, dan beberapa orang pendukungnya cenderung mengabaikan bukti yang berlainan dengan klaim-klaim mereka.

Modal Sosial Di Dunia (Pasca) Modern
Perubahan-perubahan ini telah begitu luas dan meliputi banyak bidang sosiologi terkemuka Manuel Castells menyebutkan hadri bersamaan dengan masyarakat jaringan, yang di dalamnya terdapat segala macam hubungan yang bersifat tetap dan langsung di gantian oleh system terbuka koordinasi yang di dasarkan atas apa yang di sebutnya dengan “ jaringan atas jaringan (Castells, 1996) Ultrick beck memiliki perspektif yang sedikit berbeda dengan berargumen bahwa kita hidup di suatu zaman yang di dalamnya etika kepuasan diri dan keberhasilan individu menjadi arus terkuat dalam masyarakat modern. Kondisi-kondisi pasca modern pun dapat menjelaskan meningkatnya minat akademik dan minat yang lebih luas lagi pada modern social karena dinyatakan bahwa modal social cocok dengan semangat zaman yang tidak menentu dan penuh tanda Tanya (Schuller, et al 2000 : 38).
Max Weber, sosiolog klasik organisasi birokrasi membandingkan masyarakat pramodern yang bersandar pada hubungan antar pribadi yang bersifat langsung sebagai sumber solidaritas social dan tatanan dengan bersandarnya modernitas pada regulasi impersonal dan organisasi birokrasi, namun Weber menulis pada awal abad terakhir, ketika masyarakat industry massa mendominasi bangsa-bangsa barat, dan system kerajaan meliputi hampir seluruh belahan dunia. Terlebih lagi, mungkin saja ia menyepelekan sejauh mana ikatan –ikatan informal tersebut bertahan di tengah-tengah modernitas, dan mendorong orang melakukan berbagai hal di tengah-tengah begitu bayaknya aturan yang mengintari kehidupan mereka. Namun pada akhir abad ke-20 retunitas terorganisasi birokrasi skala besar dan regulasi Negara paling tidak digantikan oleh yang di sebut oleh beberapa penulis dengan kapitalisme tak tertata.
Kewarganegaraan Demokratis Aktif
Sejak awal tahun 1990-an, Putnam secara tegas menulis arti penting kehidupan asosiasional bagi demokrasi Amerika yang mencerminkan kepedulian yang lebih luas di kalangan Ilmuwan politik di Amerika Serikat terhadap kesehatan sitem politik ketika partisipasi aktif dengan beragam bentuknya terlihat tengah mengalami kemerosotan. Putnam mendiskusikan merosotnya komitmen orang Amerika terhadap partisipasi dalama pemilihan umum, yang ia yakini jauh lebih tajam dan lebih serius dibandingkan dengan yang ditunjukkan oleh rendah nya jumlah mereka yang memilih Presiden (Putnam, 2000:32). Sebagaimana dikemukakan di atas, Alexis de Tocqueville melihat banyaknya kehidupan asosiasional tidak hanya sebagai sesuatu yang integral dengan pemerintahan yang baik, namun juga sebagai landasan yang kokoh dan tahan lama dari masyarakat majemuk. Jika itu benar, maka kemerosotan asosiasi komunal dalam jangka panjang yang dideteksi Putnam cenderung merusak prospek pemerintahan yang baik dan kohesi social.
Putnam berulang kali mengklaim bahwa cadangan agregat modal social Amerika Serikat tengah mengalami kemerosotan (Putnam, 1993b, 1995, 2000). Untuk mendukung klaim ini, ia menyajikan bukti bahwa sejumlah indicator seperti angka keikutsertaan dalam asosiasi sukarela, tingkat kepercayaan antar individu, angka pemilih, dan tingkat sosialibitas secara keseluruhan mengalami penurunan.
Putnam pun membahas bukti perubahan nilai-nilai yang dianut masyarakat. Ia mengambil dari beberapa temuan survey untuk menghasilkan bukti tentang kemerosotan jangka panjang kepercayaan dan ketepercayaan. Secara khusus, ia menggunakan respons dari waktu ke waktu atas pertanyaan standar, yang secara rutin ditanyakan dalam General Social Survey (GSS) yang dilakukan pada tahun 1974 oleh National Opinion Research Centre di Universitas Chicago: ‘Pada umumnya, setujukah Anda bila dikatakan bahwa sebagian besar orang dapat dipercayai, atau bahwa Anda tidak boleh terlalu berhati-hati dalam berhubungan dengan orang? (Putnam, 2000:137).
Berdasarkan atas bukti ini, Putnam menyimpulkan bahwa ‘sebagian besar orang Amerika kurang membangun jalinan erat dengan komunitas kita bila dibandingkan dengan dua atau tiga dasawarsa yang lalu’ (Putnam, 2000:180). Paxton mencoba menelaah cakupan dan sifat perubahan modal social di Amerika Serikat antara tahun 1975 sampai dengan 1994. Seperti Putnam, ia pun menelaah polapola asosiasi dan tidak banyak menemukan tanda perubahan dari waktu ke waktu. Analisis Paxton juga menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan banyak mengalami variasi dari tahun ke tahun; terjadi kemerosotan tajam kepercayaan pada agama pada tahun 1988, mungkin sebagai akibat dari skandal terhadap kehidupan pribadi seorang evangelis Jim Baker. Paxton menyimpulkan bahwa ‘ketika cadangan kepercayaan terhadap institusi yang terkait dengan peristiwa spesifik dimungkinkan adanya oleh model tersebut, tetap tidak ada kemerosotan lain dalam hal kepercayaan terhadap institusi’ (Paxton, 1999:118-19). Hal ini jelas merupakan secercah optimism. Skandal memang menggerogoti kepercayaan terhadap lembaga-lembaga Negara, sebagaimana ketika pengkhianatan pribadi menggorogoti kepercayaan pada hubungan pribadi. Jika orang merasa bahwa perilaku yang dapat telah dicampakkan, maka kecendrungan mereka percaya pun mengalami penurunan. Namun, Paxton benar ketika mengingatkan bagian penting dari pola ini.
Atomisasi Koneksi Di Ruang Maya
Interaksi online mengalami pertumbuhan pasat pada tahun-tahun terakhir. Berdasarkan atas peningkatan luar biasa jumlah penggunaan komunikasi online, dan cepatnya persebaran penggunaan teknologi ini, akan mengejutkan jika hal ini tidak membawa dampak pada modal social orang. Kendati hal ini tidak mengundang komentar dari Coleman dan Bourdieu, paling tidak sepengatahuan saya Putnam memenuhi seluruh bab dalam buku Bowling Alone. Secara khusus, ia mencatat terbangunnya tembok pemisah digital antara mereka yang terhubung dengan teknologi ini dengan mereka yang tidak memiliki cukup keahlian dan peralatan untuk masuk ke ruang maya. Kedua, karena komunikasi online bersifat kasual dan miskin dengan
Umpan balik instan sebagaimana yang ditemukan dalam hubungan tatap muka, hal ini mencegah resiprositas dan memfasilitasi perselingkuhan. Ketiga, orang yang beraktivitas online cenderung hanya bercampur dengan sekelompok kecil orang lain yang memiliki kesamaan minat dan pandangan sebagaimana dirinya dan bersikap tidak toleran terhadap siapapun yang berpikir sebaliknya. Akhirnya, Internet menawarkan begitu banyak peluang bagi hiburan pribadi dan pasif.
Secara umum, ada banyak spekulasi terhadap persoalan ini, namun sampai saat ini tidak banyak bukti kuat yang mendukungnya. Sepanjang kehidupan singkat Internet, bukti tentang hubungan antara modal social dengan konetivitas online sulit ditemukan. Namun, bahkan pada masa sejak Putnam menyelesaikan buku Bowling Alone, sejumlah studi diterbitkan dan memungkinkan kita menelaah hipotesisnya maupun hipotesis Castells dan Fukuyama. Sebagian besar bukti yang didasarkan atas survey menunjukkan bahwa mereka yang paling aktif melakukan kegiatan online cenderung merupakan orang yang telah membangun banyak koneksi tatap muka, dan mereka melengkapi ketimbang menggantikannya dengan interaksi di ruang maya (Wellman, 2001:2032)
Tabel 4.1 Jalinan hubungan antarwarga di antara pengguna dan nonpengguna Internet
Pengguna Internet (%) Nonpengguna (%)
Hak asasi manusia 63 72
Klub olahraga 47 43
Aksi lingkungan 61 71
Politik 35 25
Gereja 18 28
Sumber: Kniep, 2000:21

Akhir Komunisme
Pada tahun 1989, menulis ketika Tembok Berlin masih tegak berdiri, Francis Fukuyama berpidato dalam kuliah umum tentang runtuhnya komunisme sebagai akhir dari sejarah (Fukuyama, 1989). Hal ini pun sangat konservatif, secara efektif merayakan kemenangan liberalisme ekonomi dan politik. Namun Eropa adalah saksi mata bagi perubahan besar pada tahun 1989, yang membawa implikasi begitu luas. Anehnya, runtuhnya komunisme Eropa diabaikan dalam diskusi bangunan sosaial pascamodern.
Dalam proses digantikannya regulasi distribusi oleh Negara yang hamper dilakukan hanya satu malam oleh bentuk kapitalisme pasar bebas yang ekstrem dan kadang-kadang korup, orang dapat memperkirakan adanya kerugian deflasi yang dialami oleh nilai modal social. Dlaam studinya tentang ‘ekonomi bantuan’ di Rusia, Lendeneva menunjukkan bahwa blat (penggunaan koneksi secara sistematis untuk menghasilkan bantuan) pada awalnya merupakan respons atas ketidakhadiran pasar; memiliki uang sangat tidak relevan ketika barang-barang kebutuhan sehari-hari seperti makanan, pakaian, atau rumah dapat diperoleh dengan mudah (Ledeneva, 1998:35).
Sejumlah ilmuwan berusaha menggunakan konsep modal social untuk memaparkan tentang masyarakat Eropa pascakomunisme. Kolankiewicz menjadikan Putnam dan Bourdieu sebagai penuntun analisis pembentukan kelas di Polandia dan Hungaria, dua Negara tempat komunisme selalu tidak popular, dan tempat rezim yang ada di dalamnya wajib melakukan akomodasi terhadap rakyatnya.Dalam situasi seperti ini,jaringan social pada dasarnya sangat sensitive atau melindungi diri, dan cirikan oleh familisme dan klientelis me amoral daripada resiproritas yang lebih bersifat umum,sebaliknya kepecayaan pada umumnya sangat rendah (Kolankiewich,1996:438)
Secara khusus,kepercayaan menyediakan elemen perdilibitas yang dilemahkan oleh instabilitas kapitalisme sebagaimana terjadi pada kesewenang-wenangan birokrasi (Kolankiewich, 1996:437).Studi lain banyak menginformasikan tetap pentingnya ikatan pribadi dimasyarakat pascakomunis,dengan menunjukkan pada tetap adanya ikatan di kaingan mantan administrator komunis yang disebut dengan nomenklatura sebagai sumber bisnis yang berharga di bawah system kapitlisme (Clark,2000:Rose,1999 Dari membandingkan ikatan social di Rusia dan Firlandia misztal menunjukkan bahwa ibandingkan orang dan juga cenderung bertukar barang dan melalui jaringan pribadi,dan juga namun ikatan-ikatan ini terlalu menyerupai klan untuk mendorong dinamisme jangka panjang atau merangsang demonstrasi dan justru membantu membentuk ekonomi dunia yang berlangsung diluar ruag public (Mizstal,2000:224-5).
Keluarga Dan Ikatan Intim
Bagi Coleman khususnya,modal sosiaal secara khusus diekspresikan melalui ikatan-ikatan primodial seperti kekerabatan.secara khusus ia menyatakan bahwa asal-usul dari bentuk modal soaial yang paling efektif adalah hubungan yang di bangun sejak lahir (Coleman, 1991 : 1-3 ). Putnam pun mencatat bahwa pada umumnya, emigrasi mendevaluasi modal social seseorang karena sebagian besar koneksi social yang dimiliki seseorang harus di tinggalkan (Putnam, 2000 : 390). Tidak seperti coleman, Putnam percaya bahwa merosotnya keluarga tradisional tidak banyak membawa dampak pada tingkat jalinan hubungan antar warga (Putnam, 2000 : 278-9)
Mobilitas geografis memang tampak mengubah sumber modal social. Secara kebetulan, ini adalah wilayah di mana internet mulai menimbulkan dampak awal pada awal tahun 202, kira-kira delapan juta orang dewasa di inggris dikatakan melacak teman-teman lama sekolah mereka melalui situs friends reunited (the times, 3 januari, 2002). Pada level yang lebih spesifik, keputusan berpindah rumah di dalam suatu komunitas diketahui sebagai sesuatu yang begitu menimbulkan stres, yang tidak tertahankan karena hal ini dapat menekan sumber dukungan yang dimiliki orang. Orang Amerika yang pindah rumah tampak lebih banyak berpaling pada teman-temannya ketika menghadapi kesulitan, sementara mereka yang relative tidak mobile lebih cenderung meminta bantuan anggota keluarga (Boisjoly,et al. 1995: 623).
Arti penting jaringan bagi keputusan untuk migrasi telah banyak diketahui istilah “ migrasi rantai “ misalnya telah lama di gunakan untuk mengambarkan kecendrungan migran baru untuk mencari temoat dimana mereka dapat memiliki teman atau kerabat, yang selanjutnya menjadi sumber untuk memfasilitasi penyesuaian dan mungkin juga membantu mengompensasikan tiadanya sumber daya lain seperti uang tunai atau kualifikasi (Brettell, 2000).
Modal Sosial Dalam Masyarakat Risiko Persahabatan Fleksibel
Koordinat yang tepat, dalam kehidupan social sebagaimana di dalam peta jalan memberikan keamanan dan stabilitas. Namun organisasi formal terikat oleh aturan, dan tidak mungkin memiliki fleksibilitas dan sensitivitas jaringan informal (Rose 1999 ; 150).Organisasi tersebut tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan cepat di dalam lingkungan mereka, ataupun memperuncing guncangan dari dalam, mulai dari korupsi oleh mitra senior sampai dengan pengkhianatan oleh orang yang di cintai. Dalam kondisi yang di dominasi oleh perubahan kearah fleksibilitas dan hancurnya hierarki dan otoritas pada umumnya, koordinat yang tepat dalam kehidupan social tidak pernah kehilangan relevansinya. Hubungan kerja, selama benih identitas laki-laki di pelihara, semakin banyak di cirikan oleh adaptabilitas, mobilitas dan kapasitas kerja tim dengan kolega-kolega barunya sebaiknya ketika orang mencampakkan kolega-kolega lama (Employment Department ,1996). Pembangkangan mahasiswa pada tahun 1960-an dan semakin banyak tersebarnya nilai-nilai pascamaterialis di kalangan generasi muda, mengurangi penghormatan dari Masyarakat umum (Hall, 1999 ; 446). Bagi peter senge, yang merupakan nabi organisasi pembelajaran, organisasi diri tidak selaras.jadi, tampaknya ada kecendrungan bagi tatanan social untuk menjadi lebih terpilah-pilah mungkin lebih eksperimental.
Jaringan social meningkat arti pentingnya bagi pembentukan social individu yang terindividualisasikan. Jarinag soaial yang kentara dan terukur mulai menggantikan struktur kolektif tradisional, yang mengalami erosi. Struktur kecil menawarkan struktur relevansi sosiall subjektif, yang merupakn ruang pilihan dan asal muasal sumber daya (Kirchhofer, 2000 : 15 Raca juga Raffo dan Reeves 2000)
Modal Sosial sebagai Kebijakan
Modal sosial sebagai alat kebijakan. Fakta bahwa modal sosial membawawa konsekuensi yang terlepas struktural yang lain berarti bahwa, pada prinsipnya wawasan perdebatan tentang tentang modal sosial harus dapat diterapka. Terlebih lagi konsep ini diambil oleh sejumlah lembaga pembuat kebijakan yang berpengaruh. Hal ini dipromosikan olehorganisasi kerjasama ekonomi pembangunan. Gagasan dari bahasa modal sosial menjadi landasan utama bagi dialog pembuat kebijakan dengan akademisi. Menciptaka modal sosial bukan perkara mudah kendati hal ini bisa dimuluskan oleh krisis nasional yang berlangsung terus menerus seperti perang atau bencana alam.
Mengapa Mengembangkan Kebijakan Bagi Modal Sosial?
Beberapa orang berpendapat seharusnya tidak ada intervensi apapun untuk membangun modal sosial. Beberapa orang penulis dalam tradisi neo-marxisme mengklaim bahwa konsep ini secara seksama telah digunakan untuk menjuhkan perhatian dari sebab-sebab ketimpangan matrealis dan struktural yang mendasarinya. jelas bahwa beberapa bentuk jalan ketiga menyajikan modal sosial sedikit banyak secara eksplisit sebagai alternatif atas kebijakan kesejahtraan dengan demokrat sosial. Bagi charles leadbeater misalnya, investas kedalam modal sosial karena deviden yang dihasilkannya komunitas yang lebih kuat, lebih mampu mengurusi dirinya sendiri dengan ikatan kepercayaan dan kerja sama yang kuat. Mai Wann pun strategi membangun modal sosial untuk mencipatakan sistem kesejahteraan yang didasarkan atas prinsip subsider, melalui dukungan politik secara aktif bagi kelompok swadaya bagi bantuan timbal balik. Jadi gagsan bahwa modal sosial adala kedok begi kebijakan pengurangan tunjangan kesejahtraan bukan sepenuhnya tak berdasar.
Dipaparkan bahwa modal sosial terkait erat dengan komunitarianisme, dengan pandangan romantisnya tentang ikatan lokal dan solidaritas berbasis tradisi. Khususnya sebagaimana rumusan coleman, tampak sngat sebangun dengan komunitarianisme dengan penekanan pada defisit pengasuhan sebagai sumber dari begitu banyak penyakit masyarakat modern. Kebijakan yang dirancang untuk memobilisasi lembaga-lembaga sukarela sebagai lembaga sebagai lembaga yang memberikan pelayanan bisa jadi mengekangkapasitas mereka untuk membangun modal sosial. atau, sebagaimana ditekanka oleh Antar Dhesi, dalam konteks ketikainstitusi formal mungki saja bertolak belakang dengan institusi informal, intervensi kebijakan bisa menerapkan pembatasan yang tidak dikehendaki terhadap tindakan kolektif, dan dengan demikian menghambat berkembangnya modal sosial.
Mengukur Modal Sosial
Para pembuat kebijakan yang menganut gagasan tentang didorongnya modal sosial nyaris bersuara bulat ketika menyetujui bahwa ukuran adalah tantangan central. Misalnya, kemampuan mengukur modal sosial pda semua level disegala bentuk dan tipenya adalah sesuatu yang kruasial, yang selanjutnya menghubungkan semua itu dengan hasil ekonomi, sosial, kepedulian lain terhadap pembuat kebijakan. Banyak lembaga yang terlibat dala pembangunan komunitas setuju bahwa mengukur modal sosial bisa menjadi satu cara yang efektif untuk mempengaruhi lembaga donor dan pembuat kebijakan. Pada umumnya para pembuat kebijkan terkini memilih menginvestasikan sumber daya yang langka kedalam aktivitas-aktivitas yang dapat diukur sehingga hasil dari investasi mereka dapat dibandigkan dengan hasil yang diperoleh dari pengeluaran serupa ditempat lain. Modal social pun tunduk pada aturan ini.
Bagi beberapa orang khususnya di komunitas bisnis, pengukuran modal sosial hanyalah telaah atas laba rugi. namun hal ini tidak semudah kelihatannya. Sebagaimana dikemukakan secara tegas OECD, pengukuran modal sosial sulitdilakukan. Satu kesulitan yang ditimbulkan adalah banyaknya indikator potensial yang semuanya menunjuk pada dimensi berbeda.
Mengoperasionalkan Kebijakan Bagi Modal Sosial
Inggris menjadi contoh menarik dari tumbuhnya minat dikalangan pembuat kebijakan untuk mengidentifikasikan dampak modal sosial. Namun secara umum tanda-tanda minat terhadap di inggris ini jarang di ejawantahkan dalam aksi. Tidaklah mudah menguraikan secara tepat bagaimana pemerintah seharusnya beraksi mendorong modal sosial. Bagi pembuat kebijakan publik sdar akan adanya sumber modal sosial dan mengubahnya menjadi manfaat positif adalah satu hal, namun mampu menunjuk secara tepat ke arah tombol yang harus ditarik untu menciptakannya adalah hal lain. Para pembuat kebijakan di Inggris pun pada tahun 2002 beralih dari minatyang begitu luas namun tidak terfokus menuju ke upaya yang lebih terspesifikasi secara jelas ke arah perumusan kebijakan.
Modal sosial banyak digunakan dalam kebijakan pembangunan sebagian, sebagai akibat dari minat yang ditunjukan oleh bank dunia. Namun sebagaimana argumen katherin rankin, daya tarik terletak pada kapasitasnya untuk memobilisasi jaringan sosial lokal untk mengatasi masalah kemiskinana misalnya dalam preferensi terhadap strategiyang berakarlokal seperti program pendanaan mikro. Pendekatan berbasis kemitraan banyak dipuji sebagai cara untuk memajukan modal sosial. Sebagai contoh dikatakan bahwa melibatkan komunitas secara aktif dalam pengambilan keputusan dan implementasi program adalah cara untuk mendorong perubahan berkelanjutan dalam bidang kesehatan, sekaligus sebagai cara untuk mengatasi ketimpangan dalam bidang kesehatan.



BAB III
PENUTUP
Modal social diawali dari konsep yang cukup sederhana dan istilah ini berevolusi begitu cepat menjadi penjelasan yang begitu kompleks tentang hubungan manusia dengan nilai mereka. Namun ketika debat berkembang,menjadi semakin jelas bahwa konseptualisasi orisinal modal social begitu terbatas dan mungkin mengandung sejumlah kelemahan. Sebagaimana dikembangkan Bourdie, Coleman dan Putnam, konsepsi awalnya cukup longgar dan dangkal; ditangan orang lain, konsepsi tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga sesuai dengan hopotesis dan model.
Akhirnya, gagasan modal social banyak diperdebatkan.beberapa orang mempertanyakan koherensi-nya yaitu, apakah istilah ini merujuk pada serangkaian perilaku dan hubungan yang terkait, dapat didefenisikan dan konsisten, atau apakah hal ini sebagaimana dikemukakan Warded an Tampubolon adalah konsep yang kacau.
Modal social harus dipahami sebagai konstuk relasional. Hal ini hanya dapat memberikan akses bagi sumber daya ketika individu tidak hanya membangun ikatan dengan orang lain namun juga menginternalisasikan nilai-nilai bersama kelompok.
Jika modal social dipandang bersifat relasional,hal ini mencakup lebih dari sekedar level perilaku individu. Hal ini harus dipahami sebagai atribut individu (dalam kaitan dengan orang lain), dan kolektivitas.

Selasa, 15 Maret 2011

konsep sistem sosial dan sistem budaya

Indonesia, sebagai sebuah bangsa, terbentuk dari aneka kultur dan struktur sosial yang berbeda-beda. Berbeda dengan Jepang ataupun Korea, Indonesia memiliki kultur yang tidak homogen. Bahkan, untuk wilayah Papua saja terdapat kurang lebih 132 suku bangsa dan bahasa yang berlainan. Itu belum lagi sistem sosial dan budaya yang terdapat di pulau-pulau Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan lainnya. Lalu, bagaimana dapat seseorang memutuskan bahwa ia tengah mengamati atau mempelajari budaya dan sistem sosial Indonesia?Tentu saja, Indonesia tadinya merupakan sebuah konsep abstrak. Indonesia merupakan sebuah ide yang dibentuk oleh para founding fathers guna mempersatukan wilayah-wilayah nusantara ke dalam ikatan nation yang lebih besar secara politik. Secara politik, tatkala seseorang mempelajari budaya Sekaten di Keraton Yogyakarta, dapat saja dikatakan bahwa ia tengah mempelajari budaya Indonesia. Atau, dikala seorang peneliti mempelajari budaya pemeliharaan tanaman hutan pada Suku Kubu di Jambi, ia juga dikatakan tengah mempelajari budaya Indonesia. Yogyakarta dan Jambi merupakan dua wilayah yang terikat ke dalam sebuah nation yang bernama Indonesia.Masalah yang kerap muncul dalam negara dengan multikultur adalah masalah primordial. Suku, agama, golongan, ataupun ras yang berbeda-beda kerap bersitegang satu dengan lainnya guna mempertahankan eksistensi mereka. Manifestasi dari hal tersebut adalah maraknya konflik antar masyarakat Indonesia seperti di Poso, Papua, Sampit, Maluku, atau kerusuhan antara golongan pribumi versus etnis Cina. Integrasi nasional merupakan pekerjaan rumah yang amat berat tetapi harus diselesaikan oleh seluruh elemen yang mengaku sebagai bagian dari nation Indonesia.

Konsep Sistem Sosial dan Budaya
Dalam mendekati permasalah sistem sosial dan budaya Indonesia, akan digunakan sejumlah teori guna mendekatinya. Teori adalah perangkat analisis yang terdiri atas sejumlah penyataan tentang mengapa dan bagaimana suatu fakta berhubungan antara satu dengan lainnya. Dalam konteks mata kuliah, terdapat 2 konsep yang terlebih dahulu perlu dibedakan. Pertama konsep sistem sosial dan kedua konsep sistem budaya. Sistem sosial dan sistem budaya ini terlebih dahulu harus dipisahkan sebagai 2 fenomena yang berbeda.

Sistem Sosial
Sistem adalah kesatuan dari struktur yang punya fungsi berbeda, satu sama lain saling bergantung, dan bekerja ke arah tujuan yang sama. Dalam sosiologi, sekurang-kurangnya dikenal 3 paradigma berbeda yang biasa digunakan dalam mendekati permasalahan sistem sosial ini, yaitu :
1. Fungsionalisme Struktrural
2. Konflik Sosial
3. Interaksionisme Simbolik
4. Fungsionalisme Struktural
Paradigma Fungsionalisme Struktural berangkat dari kajian Herbert Spencer (1820-1903), sosiolog Inggris, yang menganalogikan sistem sosial seperti sistem tubuh mahkluk hidup. Sistem tersebut terus mengalami evolusi ke arah penyempurnaan bentuk. Organ-organ tubuh saling bekerja secara bersama agar keseluruhan sistem berfungsi secara teratur, aneka unsur di dalam masyarakat (ekonomi, negara, kesehatan, pendidikan, keagamaan) satu sama lain saling bekerja sama agar masyarakat dapat berfungsi dan teratur secara keseluruhan.Pandangan Spencer ini kemudian mempengaruhi Emile Durkheim (1858-1917), seorang sosiolog Perancis. Analogi tubuh atas masyarakat dari Spencer ini kemudian dinyatakannya sebagai paradigma Fungsionalisme Struktural. Paradigma ini memandang masyarakat sebagai sistem yang kompleks, dalam mana bagian-bagian di dalamnya saling berkait dan bekerja secara bersama guna memelihara stabilitas. Secara rinci, pandangan dari paradigma Fungsionalisme Struktural sebagai berikut :
1. bagian-bagian (struktur) suatu sistem sosial saling bergantung.
2. sistem sosial punya kondisi normal yaitu equilibrium (keseimbangan), dan
3. tatkala terganggu, bagian-bagian sistem segera mereorganisir dan menyesuaikan diri guna mengembalikan sistem sosial ke kondisi semula.1
Bagi Durkheim, masyarakat itu mempengaruhi tindakan individu, tetapi sebaliknya, masyarakat itu ada setelah adanya individu. Baginya masyarakat harus dipahami sebagai sebuah fakta sosial. Fakta sosial ini terdiri atas hukum, moral, nilai, keyakinan agama, kebiasaan, pakaian, ritual, serta aturan-aturan sosial dan budaya yang mengatur kehidupan sosial. Paradigma Fungsionalisme Struktural ini sangat berpengaruh dalam kajian mengenai sistem sosial. Ia populer di Amerika Serikat melalui pemikiran dari Talcott Parsons (1902-1979) selama periode 1940 hingga 1950-an. Parsons inilah yang membentuk grand theory bagi Fungsionalisme Struktural ini. Grand Theory adalah tingkatan teorisasi abstrak dan menyeluruh, yang pertama kali coba menjelaskan struktur sosial melalui serangkaian penelitian. Robert K. Merton (1910-2003), murid dari Parsons, mulai beranjak ke arah middle-range theory. Middle-range theory adalah teori-teori yang lebih terbatas dan dapat diuji melalui penelitian. Merton mulai menjelaskan perilaku menyimpang (deviant), opini publik, ataupun bagaimana kekuasaan itu ditransmisikan dari satu generasi ke generasi lain.Merton juga menunjukkan kompleknya pola-pola sosial, dalam mana stuktur-struktur masyarakat yang bervariasi memiliki fungsi-fungsi yang juga berbeda. Ada fungsi yang disebut Merton sebagai manifest functions, yaitu fungsi yang nyata dan disengaja. Ada pula latent function, yaitu fungsi yang tidak diorganisir dan tidak disengaja. Seluruh fungsi ini dapat dikategorikan netral ataupun menguntungkan. Kendati begitu, beberapa fungsi dapat saja tidak diinginkan kehadirannya. Fungsi yang tidak diinginkan ini disebut social dysfunction.Manifest Function, Latent Function, dan Social Dyfunction sosial dapat dijelaskan lewat ilustrasi sebuah mobil. Mobil merupakan alat transportasi dan status bagi pemiliknya. Keduanya adalah manifest function. Mobil juga memungkinkan otonomi, yang membuat pemiliknya dapat datang dan pergi ke suatu tempat secara bebas. Ini merupakan Latent Function. Namun, mobil juga berdampak polusi bagi lingkungan. Ini merupakan social dysfunction dari mobil sebagai alat transportasi. Bagi paradigma Fungsionalisme Struktural, tatkala salah satu struktur sistem sosial berubah, maka struktur lainnya harus segera menyesuaikan diri. Perubahan ini dapat memiliki manifest, latent, ataupun disfungsi sosial. Sebagai gambaran atas ketiga fungsi ini dapat diambil contoh pengembangan mal Pondok Gede.Mal Pondok Gede memusatkan kegiatan perdagangan di satu tempat. Itu merupakan manifest function. Variasi barang dagangan, penarikan investasi, penyediaan lapangan kerja, merupakan serangkaian Latent Function yang mengikuti pendirian Mal Pondok Gede. Namun, kemacetan, berkurangnya resapan air, dan dibongkarnya rumah asal muasal nama Pondok Gede merupakan disfungsi sosial yang menyertainya.Fungsionalisme Struktural dikritik akibat penekanan yang terlampau berlebihan pada aspek keteraturan sosial. Keteraturan sosial ini dianggap tidak mampu menjelaskan perubahan sosial. Padahal, seperti telah dinyatakan Spencer, sistem sosial juga mengalami evolusi (perubahan berangsur) di dalam dirinya. Fungsionalisme Struktural juga dikritik tidak mampu menjelaskan fenomena konflik dan ketegangan akibat sejumlah faktor seperti ras, kelas, dan gender. Konflik dan ketegangan akibat faktor-faktor ini berdampak pada posisi-posisi sosial dan kehidupan. Selain itu, Fungsionalisme Struktural juga dikritik mengandung tautologi (argumen yang berputar-putar). Fungsionalisme Struktural juga tidak memuaskan dalam menjawab pertanyaan bagaimana sebuah struktur sosial baru muncul. Fungsionalisme Struktural menjadi tidak populer tahun 1960-an, tatkalan dunia banyak mengalami perubahan yang cepat.Akibat kritik-kritik ini, munculah sebuah paradigma lain yaitu Neofungsionalisme. Neofungsionalisme merupakan bentuk baru dari Fungsionalisme Struktural dan muncul tahun 1980-an melalui serangkaian penelitian Jeffrey C. Alexander (1998), Neil Smelser (1982), dan Niklas Luhmann (1982). Karya ketiganya merupakan revisi atas pandangan Talcott Parsons mengenai Fungsionalisme Struktural.

Teori Konflik Sosial
Konflik Sosial merupakan paradigma “besar” lain di dalam kajian sosiologi. Fokusnya pada kompetisi (persaingan) antakelompok di dalam suatu sistem sosial. Jika Fungsionalisme Struktural menekankan pada perimbangan dan stabilitas sistem sosial, maka teoretisi konflik memandang masyarakat sebagai mengandung hubungan sosial yang tidak sama dan berubah.Menurut teoretisi konflik, kelompok-kelompok di dalam masyarakat saling bersaing guna memperoleh sumber daya yang langka seperti kesejahteraan dan kekuasaan. Setiap kelompok selalu mencari apa yang baik bagi dirinya. Namun, pada kenyataannya hanya satu atau sedikit kelompok yang menguasai sumber daya termaksud. Sebab itu, paradigma konflik selalu bertanya, “Siapa yang diuntungkan dari situasi ini ?” Bagi teoretisi konflik, konflik adalah konstan (tetap).

Karl Marx
Karya Karl Marx (1818-1883) kerap dirujuk sebagai akar perspektif konflik dalam sosiologi. Marx mengamati ketimpangan yand ada di masyarakat kapitalis. Baginya, masyarakat berada dalam pertarungan antar kelas: Yang Punya (diwakili pemilik pabrik) dan Yang Tak Punya (buruh). Hasilnya adalah, konflik dan perubahan sosial akibat kelas yang satu berupaya mempertahankan milik, sementara lainnya berupaya merebut. Pandangan ini cukup sederhana dan kemudian dikembangkan penerusnya. Inti yang tetap dipertahankan adalah ketegangan konstan antar kelompok. Marx terlampau menekankan pada determinisme ekonomi. Sementara teoretisi sesudahnya mulai merambah ranah baru yaitu kelompok, organisasi, ras, golongan, suku bangsa, dan sejenisnya.

Ralf Dahrendorf
Ralf Dahrendorf melanjutkan tradisi konflik Marxian dengan sejumlah modifikasi. Dahrendorf juga dikenal menerapkan Marxism Positivistik. Ia menerapkan konsep-konsep Marx seperti proletarian ataupun borjuis agar dapat diterapkan di setiap pola organisasi sosial. Penerapan pola tersebut dikaitkan dengan masalah otoritas sistem. Pola ini dikenal dengan nama Imperative Coordinated Association (ICA). ICA merupakan lembaga tempat pengaturan kelompok-kelompok yang ada di suatu masyarakat. Ia semacam lembaga ‘peredam’ konflik. Dahrendorf kemudian menjawab pertanyaan sehubungan benturan dan kekerasan yang terjadi di masyarakat. Baginya, semakin para anggotanya terorganisir dan sadar bahwa mereka tengah menuju konflik, semakin rendah benturan dan kekerasan dalam konflik yang kemudian terjadi antara mereka dengan para atasannya. Sebaliknya, semakin kepentingan para anggota tidak terorganisir ataupun semakin tidak koheren ikatan di dalam organisasi tatkala mengarah pada konflik, maka semakin keras konflik yang akan terjadi. Ini ditambah lagi dengan kondisi-kondisi berikut:
1. kemampuan mobilitas vertikal para anggota rendah,
2. otoritas yang ada berhubungan erat dengan distribusi sumber daya yang ada, dan
3. ketidakpuasan di antara anggota masyarakat meningkat secara drastis.


Eric Olin Wright
Eric Olin Wright adalah teoretisi Amerika Serikat yang mempertahankan evaluasi Marx atas sistem stratifikasi sosial. Wright mengembangkan sejenis Marxisme analitik. Kajiannya atas masyarakat post industrial. Jadi ia berbeda dengan Marx oleh sebab Marx mengkaji masyarakat industrial. Beberapa pernyataan Wright yang punya perbedaan dengan Marx adalah :
1. jumlah kelas menengah akan meningkat (sementara bagi Marx, kelas menengah akan menghilang akibat konsentrasi kelas hanya pada borjuis dan proletar saja
2. tersebarnya kepemilikan alat produksi dengan sistem saham,
3. meningkatnya jumlah orang yang dipekerjakan oleh pemerintah (perusahaan nonprofit)
Kendati demikian, Wright tetap mempertahankan gagasan eksploitasi Marx, bahwa atasan/pimpinan akan beroleh kekayaan dari nilai lebih buruh.
Sistem kelas yang sudah ada membatasi formasi (bentuk) dan perjuangan kelas. Sementara itu, perjuangan kelas akan mengubah struktur dan formasi kelas. Pertanyaan besar Wright adalah, bagaimana menciptakan teori guna menjelaskan mekanisme terbentuknya formasi dan perjuangan kelas. Itu semua dalam batasan yang ditentukan oleh struktur kelas yang sudah ada.
Randall Collins
Randall Collins menganggap realitas sosial berawal dari level mikrososial, lewat interaksi antarindividu yang tatkala terhubungkan satu sama lain, membentuk stratifikasi sosial budaya kelas layaknya suatu organisasi. Pada gilirannya, stratifikasi dan budaya kelas ini melahirkan makrostruktur yang berkisar pada negara maupun sistem geopolitik yang dinamis.Bagi Collins, setiap level realitas selalu terdapat ketimpangan distribusi material, simbol ataupun sumber daya politik. Potensi konflik akibat ketimpangan ini selalu terdapat antara individu yang terlibat dalam interaksi langsung (face to face), baik dalam organisasi, antarkelas, antarbudaya, dan antarmasyarakat. Collins mengawali analisisnya atas masyarakat pada level mikro (individu). Baginya, individu selalu mencari sesuatu guna memperkuat modal kultural dan energi emosional mereka dengan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki guna memperoleh keuntungan. Pada level meso (menengah), yaitu di tingkat organisasi sosial, Collins melihat organisasi sebagai sistem kontrol. Sistem kontrol tersebut boleh menggunakan sumber daya koersif, simbolik, ataupun material dalam rangka memperoleh penerimaan dari mereka yang melawan upaya mencari keuntungan ini.
Pada tingkat makro, Collins meneliti konflik di dalam masyarakat. Khususnya dalam kemampuan negara mengatur aktivitas internalnya, dengan adanya kemampuan ini, dan pada gilirannya, pada tingka produksi dalam konteks ekonomi dan tingkat kontrol negara yang menggunakan sumberdaya koersif, simbolik, dan material.

Sistem Budaya
Umum diketahui, Indonesia terdiri atas aneka suku bangsa. Masing-masing punya budaya khas yang saling berbeda satu dengan lainnya. Apa yang dikatakan sebagai budaya Indonesia, sesungguhnya merupakan suatu yang abstrak. Sebab, hingga kini belum ada satu budaya final yang secara komprehensif merupakan kesatuan (atau percampuran) dari seluruh budaya lokal yang tumbuh di Indonesia. Sebab itu, penting untuk terlebih dulu diketengahkan suatu penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan budaya. Demikian pula tipe dan unsur-unsur yang ada di dalam konsep budaya. Setelah dilakukan hal tersebut, dapat kiranya dilakukan penelusuran mengenai fenomena budaya yang tumbuh di Indonesia. Penelusuran konsep budaya yang digunakan adalah dalam disiplin sosiologi.
Pengertian Budaya
Menurut Kathy S. Stolley, budaya merupakan sebuah konsep yang luas.2 Bagi kalangan sosiolog, budaya terbangun dari seluruh gagasan (ide), keyakinan, perilaku, dan produk-produk yang dihasilkan secara bersama, dan menentukan cara hidup suatu kelompok. Budaya meliputi semua yang dikreasi dan dimiliki manusia tatkala mereka saling berinteraksi.Budaya membentuk cara bagaimana orang melihat dunia. Ia berpengaruh atas bagaimana kita berpikir, bertindak, yang dijunjung tinggi, berbicara, organisasi-organisasi yang dibentuk, ritual yang diselenggarakan, hukum yang dibuat, apa dan bagaimana yang kita sembah, apa yang kita makan, apa yang kita pakai, dan apa yang kita sebut sebagai buruk atau baik. Budaya di dunia sangat bervariasi. Budaya, bagi penganutnya, adalah “normal” ataupun “lebih baik” ketimbang budaya yang dianut pihak lain. Terkadang seseorang yang memasuki budaya berbeda akan mengalami “culture shock” atau kejutan budaya. Culture shock adalah kebingungan yang muncul tatkala seseorang memasuki situasi atau cara hidup yang tidak dikenal. Seorang suku Sunda mungkin saja terkejut melihat tata cara berpakaian, tatkala ia diberi kesempatan berkunjung ke kediaman seorang Suku Dani di pedalaman Papua yang masih menggunakan koteka. Keterasingan yang ia alami tatkala mengalami itu dapat disebut sebagai cultural shock.
Jenis-jenis Budaya
Budaya memiliki sejumlah perwujudan. Satu sama lain saling berbeda. Perbedaan itu akibat tiap budaya sekaligus memiliki komponen material dan komponen nonmaterial. Masuk ke dalam kategori komponen material adalah seluruh produk nyata yang terbentuk lewat interaksi manusia. Ini termasuk pakaian, buku, seni, bangunan, software komputer, penemuan, makanan, kendaraan bermotor, alat kerja, dan sejenisnya. Sementara itu, masuk ke dalam kategori komponen nonmaterial adalah semua kreasi manusia yang tidak kasat mata seperti bahasa, nilai-nilai, keyakinan, perilaku, ataupun lembaga sosial.Budaya yang sifatnya material seperti teknologi mungkin saja punya dampak pengubahan atas manusia secara lebihcepat. Ini yang kerap disebut cultural lag. Cultural lag adalah ‘jurang’ yang muncul tatkala sejumlah aspek budaya mengalami perubahan tanpa disertai aspek lainnya. Contohnya, tatkala manusia menemukan cara membiakkan sel yang terkenal dengan nama cloning. Cloning tersebut berhasil diterapkan atas hewan. Persoalan muncul tatkala ia hendak diterapkan atas manusia. Muncul perdebatan moral dan etis apakan manusia boleh dibiakkan secara cloning? Sosiolog juga menekankan kita jangan sampai bingung dengan penggunaan kata budaya sehari-hari. Dalam penggunaan sehari-hari, seseorang dapat saja dikatakan “berbudaya” atau “terbudayakan” atau “tak berbudaya”. Setiap orang pada hakikatnya memiliki budaya. Namun, terkadang pemakaian kata “budaya” kerap mengacu pada apa yang dinamakan “high culture” (budaya tinggi). High culture sendiri biasanya terdiri atas hal-hal yang dihubungan dengan kaum elit sosial. Menonton opera, melihat galeri lukisan, menonton konser musik klasik, mengunjungi butik mahal, dan sejenisnya merupakan contoh dari budaya tinggi. Kegiatan-kegiatan ini tentu tidak dapat dilakukan oleh semua orang karena beberapa alasan. Bisa saja karena mahal, tidak suka, ataupun lokasi tempat tinggalnya jauh dari hal-hal tersebut. Lawan high culture adalah popular culture. Popular culture (budaya populer) terdiri atas kegiatan yang tersebar luas dan dilakukan banyak orang. Ia memiliki daya tarik bagi aneka manusia dari beragam kelas sosial. Contohnya rumah makan Padang. Rumah makan ini menghidangkan masakan khas Sumatera Barat. Namun, banyak orang dari suku Sunda, Jawa, Batak, Papua menggemari masakan ini. “Makanan Padang” sebab itu merupakan sebuah popular culture sebab ia sudah menjadi “milik” orang lintas suku. Termasuk pula orang dari tingkat ekonomi tinggi, menengah, ataupun bawah.
Masyarakat

Masyarakat terdiri atas orang yang saling berinteraksi dan berbagi budaya bersama. Masyarakat mutlak harus ada bagi tiap individu oleh sebab ia merupakan “pusaran” tempat nilai-nilai, barang-barang, ataupun peralatan untuk hidup diperoleh. Juga, individu mutlak harus ada bagi tiap masyarakat oleh sebab lewat aktivitas dan kreasi individu-lah seluruh nilai material suatu peradaban diperoleh.Beberapa definisi tentang masyarakat berkisar pada interaksi yang muncul di wilayah tertentu. Sebab itu dikenal konsep masyarakat kota ataupun masyarakat desa. Masyarakat pesisir ataupun masyarakat pegunungan. Namun kini, dengan semakin canggihnya teknologi komunikasi dan transportasi, terjadi proses pertukaran budaya secara cepat dan massal. Sebab itu, pengkategorian masyarakat berdasar lingkup geografis, meski tetap dilakukan, semakin terlihat kurang signifikansinya.
Aspek-aspek Budaya
Kajian seputar budaya biasanya lebih fokus pada beberapa aspek budaya nonmateri seperti nilai-nilai, norma-norma, simbol, dan bahasa suatu budaya. Sebab itu, tinjauan atas tiap aspek ini akan lebih membuat kita lebih paham soal apa itu budaya. Bagaimana budaya itu terbentuk dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain, dan seberapa penting budaya di setiap hal yang kita lakukan.

Nilai (Values)
Nilai, secara budaya didefinisikan sebaga gagasan seputar apa yang hal yang penting. Nilai menggambarkan bagaimana budaya itu seharusnya. Di Jepang misalnya, bushido, disiplin, taat pimpinan, malu tatkala gagal ataupun kerja keras, merupakan nilai budaya Jepang. Tentu saja, tidak semua orang Jepang memiliki seluruh nilai tersebut. Namun, mereka biasanya menolak beberapa tetapi menerima nilai yang lainnya.Juga, dapat saja terjadi suatu ketidakcocokkan. Ini terjadi antara “budaya ideal” yaitu nilai dan norma yang diklaim oleh suatu masyarakat dengan “budaya real” yaitu nilai dan norma yang benar-benar mereka praktekkan. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, persamaan (equality) diyakini sebagai nilai budaya nonmateri-nya. Sebab itu, secara ideal seluruh pekerja di negara itu baik warga negara kulit hitam maupun putih harus memperoleh perlakuan yang sama di tempat manapun di negara itu mereka berada. Kenyataannya, baru tahun 1964 Amerika Serikat menghapuskan perbedaan perlakuan berdasarkan warna kulit. Penghapusan ini baru dilakukan setelah mereka merdeka tahun 1776. Bayangkan, selama kurang lebih 188 tahun Amerika Serikat mengalami ketidakcocokkan antara Ideal Culture dengan Real Culture.

Norma-norma
Norma diturunkan dari nilai. Norma terdiri atas aturan dan apa yang diharapkan untuk dilakukan satu individu tatkala menghadapi situasi tertentu. Norma dibutuhkan untuk menjamin keteraturan sosial. Norma sekaligus menginstruksikan ataupun melarang suatu perilaku. Norma memberitahu kita apa yang harus dilakukan (menunggu giliran, hadir tepat waktu, menghormati yang tua, menyayangi yang muda, dan sejenisnya). Norma juga memberi tahu kita apa yang kita seharusnya tidak lakukan (berteriak di dalam ruangan, berpakaian tidak sopan, menindik hidung dan bibir, berhenti tatkala lampu lalu-lintas berwarna hijau, dan sejenisnya). Norma ditekankan melalui proses internalisasi melalui agen-agen sosial seperti keluarga, sekolah, ataupun pemerintah. Setelah diinternalisasi, norma kemudian menjadi bagian dari diri si individu dan sebagai sebuah budaya. Namun, norma juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Di tahun 1980 atau 1990-an dapat kita temui guru laki-laki kerap merokok tatkala mengajar di depan kelas. Kini, norma tersebut berubah tatkala tindakan tersebut dinilai tidak etis. Bahkan, larangan merokok di lingkungan sekolah diterapkan lewat peraturan pemerintah.
Mores adalah norma yang ditegakkan secara keras. Biasanya mores mewakili standar baku seputar apa yang benar dan salah. Larangan-larangan membunuh, merampok, memperkosa, merupakan contoh-contoh mores yang diterapkan di aneka negara. Mores dianggap signifikan secara moral dan kerap diformalisasi menjadi hukum. Karena signifikansi ini, hukuman bagi pelanggaran mores kerap diterapkan. Ini juga melibatkan pemberian sanksi berupa penangkapan dan pemenjaraan. Bahkan di beberapa negara, diterapkan hukuman mati bagi pelanggaran mores.
Simbol
Simbol adalah sesuatu yang melambangkan, mewakili atau menyatakan hal yang lain dalam suatu budaya. Simbol dapat mewakili gagasan, emosi, nilai, keyakinan, sikap, atau peristiwa. Simbol dapat berupa apa saja. Gerakan tubuh, kata-kata, obyek atau bahkan peristiwa.Penggunaan simbol membantu memperkuat rasa kesatuan dan komitmen antarindividu. Salib, YinYang, BulanBintang, merupakan simbol yang punya arti mendalam bagi para penggunanya. Bendera nasional punya arti dalam tatkala suatu pasukan atau tim olahraga bertarung di arena hidup-mati atau menang-kalah. Makna suatu simbol lahir dari cara mereka ditafsirkan di dalam suatu budaya. Merah Putih mungkin bermakna tanah air bagi pasukan RI di Timor Timur, tetapi dapat bermakna “penjajah” bagi Fretilin. Bendera BintangKejora bermakna kemerdekaan bagi gerilyawan OPM, tetapi makna berubag menjadi “gerakan separatis” bagi TNI. Demikian, simbol memiliki makna berbeda bergantung budaya yang dianut individu yang menafsirkannya.Simbol juga mungkin dapat berubah makni lewat perjalanan waktu. Misalnya, gaun pengantin warna putih mempelai wanita, dulu bermakna “keperawanan” bagi masyarakat Amerika Serikat. Kini gaun putih tersebut dianggap ketinggalan zaman dan tidak lagi punya makna. Banyak mempelai tidak lagi “perawan” atau “perjaka” tatkala menikah, di sana. Di Cina dan Jepang, mempelai wanita memakai pakaian putih oleh sebab warna tersebut lambangkan kedukaan/kematian akibat harus tinggalkan keluarga dan ikut suami. Kini, meski tidak seluruhnya, simbol-simbol tersebut mulai kehilangan makna.Namun, ada kalanya simbol justru bukan kehilangan makna, tetapi justru beroleh makna baru. Selama Perang Dunia II, segitiga warna pink terbalik digunakan Nazi guna menandai tahanan homoseksual di kamp-kamp konsentrasi. Namun, tahun 1980-an, aktivis pembela hak kaum gay mengadopsi segitiga pink itu sebagai lambang kebanggaan dan solidaritas. Jika dahulu segitiga pink adalah lambang penindasan, maka kini segitiga pink merupakan lambang perjuangan melawan penindasan itu.
Bahasa
Bahasa adalah sistem simbol yang memungkinkan proses komunikasi antar anggota penganut suatu budaya. Simbol ini dapat berupa lisan maupun tulisan. Bahasa merupakan aspek sentral seputar cara kita memahami dunia. Dapat dibayangkan seorang Indonesia tak bisa berbahasa Rusia meminta penjelasan kepada orang Rusia yang tidak bisa bahasa Indonesia ?Bahasa juga merefleksikan persepsi (pengertian) suatu budaya. Teori ini dikembangkan dua orang ahli antropologi bahasa bernama Edward Sapir (1884-1936) dan Benjamin Lee Whorf (1897-1941) lewat hipotesisnya yang bernama Linguistic-Relativity (relativitas bahasa). Misalnya, oleh sebab salju merupakan pusat hidup mereka, orang Eskimo memiliki sejumlah kata yang berkaitan dengan salju, turunnya salju, mencairnya salju, dan sejenisnya. Suku-suku padang pasir tidak punya kata “salju” dalam bahasa mereka. Atau, saking banyaknya variasi dan produsi beras, orang Hannuno di Filipina punya 100 istilah kata yang melukiskan “beras.”Bahasa juga menyatakan apa yang kita pikir mengenai dunia dan bagaimana kita bertindak. Sebuah riset menunjukkan bahwa tatkala orang di negara berbahasa Inggris atau mempelajari bahasa Inggris mendengar kata “chairman”, asosiasinya adalah “laki-laki”. Padahal, bisa saja orang yang menjadi “chairman” itu seorang perempuan.
Keragaman
Kerap ditemui suatu keragaman yang muncul di dalam suatu budaya. Di Amerika Serikat, para peneliti budaya menemui banyak perbedaan budaya tatkala mempelajari komunitas selebriti Hollywood, komunitas masyarakat Cina di ChinaTown, komunitas kulit hitam di New Orleans, kota Florida yang banyak dihuni pensiunan, Chicago yang banyak dihuni imigran keturunan Eropa Timur, dan sebagainya. Kendati begitu, sosiolog berupaya menemukan aspek-aspek budaya yang sama-sama dimiliki komunitas-komunitas di Amerika Serikat itu. Kajian budaya berbeda dari suatu bangsa masuk ke dalam kajian subkultur. Subkultur adalah budaya yang relatif lebih kecil di dalam budaya dominan. Budaya tersebut punya cara hidup yang berbeda di sejumlah hal penting dari budaya dominan.
Subkultur terbentuk akibat sejumlah faktor. Bisa dalam hal hobi, ketertarikan, perilaku, kepentingan, pekerjaan, ataupun asal etnis dan ras. Subkultur ini juga masih terdiri atas ragam kultur lain yang lebih kecil. Tidak semua subkultur dalam budaya dominan menganut nilai-nilai budaya dominan. Budaya yang menentang pola budaya dominan disebut counter-culture (budaya tandingan). Ada kesempatan subkultur, jika konsisten dan punya banyak pendukung, mampu menjadi budaya dominan.
Persoalan budaya yang kini mengemuka adalah, bagaimana penyesuaian terhadap pola-pola budaya dominan dapat dilakukan. Dan, jika suatu subkultur melakukan penyesuaian terhadap budaya dominan, maka peristiwa itu disebut sebagai asimilasi. Asimilasi adalah proses dimana suatu kelompok budaya kehilangan identitasnya dan terserap ke dalam budaya dominan. Contoh dari ini adalah penggunaan nama Indonesia yang dilakungan WNI keturunan Tionghoa. Namun, asimilasi tersebut berlangsung sebagian oleh sebab yang berubah hanya simbol individu, bukan aspek nonmaterial budaya lainnya.Kini banyak kelompok yang mengklaim punya pola budaya bersama. Akan tetapi, juga terdapat peningkatan atas pengakuan dan kepentingan seputar Multikulturalisme. Multikulturalisme adalah pengakuan dan respek atas perbedaan budaya. Multikulturalisme memungkinkan budaya dominan diterapkan sementara tetap memberi penghargaan kepada budaya lain yang juga dianut beberapa subkelompok. Tatkala mempelajari variasi budaya dan kebudayaan, sosiolog harus mewaspadai etnosentrisme. Etnosentrisme adalah penilaian atas budaya lain lewat standar budaya seseorang. Oleh sebab kita semua hidup dalam sebuah budaya, kita cenderung melihat bahwa budaya kita “normal” atau “alamiah” dan budaya lain itu “abnormal” atau “tidak alamiah”. Kita juga cenderung menilai budaya kita sendiri lebih baik ketimbang budaya lain.Ketimbang menganut etnosentrisme, seorang sosiolog harus mengembangkan relativisme kultural. Ini bermakna mereka harus hati-hati dalam menilai budaya lain lewat standar budayanya sendiri. Dengan kata lain, sosiolog coba memahami budaya-budaya lain dan mengapa mereka memiliki dan meyakini itu ketimbang menilai budaya-budaya tersebut tidak alamiah atau salah.

Sosiobiologi
Sosiolog juga fokus pada pentingnya pengaruh sosial dalam membentuk pola-pola budaya. Penekanan mereka adalah atas bagaimana budaya terbentuk lewat interaksi sosial. Dari perspektif ini, budaya adalah sebuah kreasi sosial dan produk dari pembelajaran sosial. Ia bukan produk biologis.Akan tetapi, ada sebuah bidang kajian yaitu sosiobiologi yang menghubungkan antara kajian budaya dan biologi. Istilah sosiobiologi pertama kali digunakan tahun 1970-an oleh seorang entomolog bernama Edward O. Wilson. Mengikut pada teori evolusi Charles Darwin, riset atas teori evolusioner, dan latar belakangnya sendiri dalam ilmu perilaku serangga, Wilson mengajukan cara pandang baru bahwa terdapat sejumlah basis biologi bagi sejumlah perilaku manusia.Menurut Wilson, manusia punya insting yang mempengaruhi perilaku. Insting tersebut bisa diamati di aneka kebudayaan. Lewat cara pandang ini, Wilson ingin menandaskan bahwa secara genetik perilaku sosial diturunkan. Penurunan ini tidak terelakkan. Misal dari perilaku ini adalah pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, larangan insest, bangunan pola dominasi antarkelompok, dan dominasi laki-laki.